"Demi dirimu, oh, Ayahku tercinta. Aku rela tidak beristri dan berketurunan. Aku ikhlas tidak menikah seumur hidupku di dunia, Ayah!"
***
Demikianlah sumpah Dewabrata kepada sang ayah, Prabu Sentanu. Ketika sang ayah hendak memperistri Dewi Setyawati, perempuan itu mengajukan syarat bahwa kelak keturunannyalah yang harus mewarisi tahta Astinapura. Padahal, sang Prabu telah memiliki pewaris, yaitu Dewabrata, anaknya dengan Dewi Gangga. Sebagai wujud rasa sayang dan bakti kepada sang ayah, Dewabrata berketetapan untuk hidup wadat. Sejak itulah, Dewabrata dipanggil 'Bhisma', yang merupakan nama kehormatan dari para dewa yang bermakna sumpah dahsyat.
Bhisma mengabdikan diri kepada Astinapura. Ia mengajarkan berbagai pengetahuan dan wawasan tentang kehidupan, ilmu pemerintahan, dan siasat perang kepada cucu-cucunya, para Pandawa (keturunan Prabu Pandu Dewanata) dan para Kurawa (keturuna Prabu Destarata).
Ketika Perang Bharatayuda mulai bergulir, Bhisma memutuskan untuk berada di pihak Kurawa. Bukan karena sepakat dengan tindakan mereka, namun karena darma pengabdian kepada negaranya, Astinapura. Meskipun, ia sangat memihak dan menyayangi para Pandawa. Dalam perang tersebut, Bhisma menjadi mahawira negara Astinapura. Ketangguhannya sebagai seorang kesatria ditunjukkannya dalam perang tersebut, walau umurnya tidak lagi muda.
Kisah Bhisma ini menceritakan tentang orang yang teguh memegang sumpah, serta mengorbankan kepentingan pribadi demi kebahagiaan orang tua. Ia rela mengalah, meskipun memiliki kemampuan untuk menang. Darma kesatrianya membela negara yang ia cintai, walaupun tidak menyetujui tindakan para Kurawa.